Judul: Perempuan Kertas
Penulis: Alga Biru dan Selvia Stiphani
Penerbit: Quanta
Cetakan: 2014
Tebal: 112 hlm
Bintang: 3/5
“Hai kamu… Iya kamu! Perempuan jangan seperti kertas ya. Gampang dirobek-robek.” (Sinopsis)
Sejarah menunjukkan bahwa perempuan mulai mendapatkan kemuliaan sejak Islam didakwahkan oleh Rasulullah saw. Dan sebaik-baiknya perempuan adalah yang sholehah. Seperti yang disebutkan kutipan di atas, perempuan itu laksana kertas atau kaca, jika salah penempatan atau perlakukan akan mudah hancur. Karenanya Islam sangat menjaga perempuan,
Para ‘pemikir modern’ sering mengangkat tema feminis untuk membuat perempuan goyah dengan mengumbar stigma bahwa agama mengekang perempuan. Sayangnya, banyak perempuan yang lebih tergoda memilih untuk menyisihkan pelindungnya dan tak menyadari bahwa pilihannya bisa berdampak mengerikan pada dirinya.
“Tantang arus dengan segala prinsip yang ada di dada. Menantang arus, hanya dilakukan oleh orang-orang bernyali. Apakah kita cukup bernyali?” (h.19)
Jika ditarik garis besar, pembahasan buku ini adalah mengkritisi tentang pergaulan, terutama masalah pacaran, kemudian difokuskan kembali kepada perempuan. Pembahasan dimulai dari pengenalan diri sendiri yang seringkali menilai sebenarnya pacaran seperti apa. Bisikan-bisikan setan tentang ‘indahnya’ pacaran. Segala hal yang sering dirasa, dipikir dan dikira oleh para pengidam hubungan labil, sarat dosa.
“Aku rasa… Kicauan kecil di hati bersuara. Si dia lewat di depanku. Darah mengalir, seeerrr dari ulu hati ke relung-relungnya. Ternyata begini rasanya cinta monyet, cinta simalakama. Jika diambil bisa kebablasan, kalau tak diambil takut ketinggalan zaman. Aku rasa….” (h.2)
Alasan sering dijadikan tameng untuk melakukan sesuatu, termasuk juga ketika seseorang ingin membenarkan aktivitas pacaran. Semboyan, “Sandal aja pasangan, masa kamu nggak” seperti melekat di benak para remaja. Pacaran seperti menjadi kebutuhan wajib supaya tetap eksis. Dari beberapa alasan, salah satu yang disinggung dalam buku Perempuan Kertas adalah Mengikuti Zaman.
“Ada yang berdalih, pacaran susah ditinggalin sebab udah jadi tuntutan zaman. Kalo gak punya pacar berasa nggak gaul. …. Entah sejak kapan tatanan nilai sudah demikian bergeser. Tampaknya sejak pahan liberalisme, hedonisme, dan permisifisme masuk ke pikiran remaja muslim, pacaran yang jadi alat dari kebebasan berekspresi makin tumbuh subuh.” (h.18)
Lupakan adalah judul bab yang membahas tentang cara ampuh melupakan mantan/pacar berlanjut ke cara berusaha memperbaiki diri yang terurai pada bab Tobat. Dua bab inilah yang penting dipahami dan dilakukan untuk menjadi remaja yang tidak melulu berpikir tentang romantika pasangan non halal. Komitmen membenahi diri akan membuat tenaga dan masa muda tidak menjadi sia-sia. Belajar tentang etika pergaulan dan memaknai cinta sejati juga dibahas menjadi salah satu poin penting untuk lebih berhati-hati dengan hati, segumpal daging yang sangat mempengaruhi diri manusia.
“Satu-satunya jalan mengecap indahnya cinta ialah berada dalam koridor cinta yang benar. Mengawasi hawa nafsu tidak sebagai komando yang menggerakkan rasa. Cinta yang halal, dialah cinta terindah. … Pemiliknya tidak perlu khawatir dengan rayuan gombal, karena cinta yang halal diikat oleh janji Tuhan.” (h. 76)
Cara bertutur gaul dijadikan senjata untuk merangkul segmen pembaca remaja yang memang menjadi sasaran buku ini. Penulis berusaha untuk menjadikan bahasan seperti obrolan dan tidak terasa kaku. Hanya saja, ada ganjalan dengan konsep yang ingin digunakan penulis. Pada awalan penuturan buku ini tampak menarik karena penulis menciptakan figur Alga dan Putri Padi untuk menyampaikan materi sehingga tidak terkesan menggurui. Sayangnya, menurut saya, konsep tersebut tidak berjalan, karena semakin ke belakang, ‘peran’ dari Alga ataupun Putri Padi tidak terlalu terlihat.
“Jangan menjadikan dosa itu sebagai kenangan yang tidak bisa dillupakan. Kita meski bisa memaafkan diri sendiri, karena awal perubahan diri kita adalah ketika kita mampu memaafkan diri sendiri, kemudian menancapkan tekad untuk berubah menjadi lebih baik.” (h.46)
0 comments:
Post a Comment