Judul: Khadijah, Mahadaya Cinta | Penulis: Fatih Zam | Editor : Sukini | Penerbit: Tinta Medina | Terbit: April 2011 | Tebal: 240 hlm | Bintang: 2/5
“Itulah tujuan akhir cinta, Laila. Menciptakan keharmonisan dan keseimbangan. Semua menuju pada apa yang diinginkan Tuhan. Kedamaian.” (Perempuan Renta ~ h.87)
Pemandangan senja menjadi pembuka kisah. Senja yang tergambar melalui mata tua yang menikmati keindahan semburat tenggelamnya sang matahari. Laila dan sesosok Perempuan Tua yang tak diketahui asal-usulnya ini, berbicara banyak hal tentang kehidupan sembari menyelami senja di lantai atas rumah. Laila yang sudah tak memiliki ayah-ibu dan saudara menganggap si Perempuan Renta ini adalah satu-satunya keluarga.
“Senja itu indah, tapi durasinya singkat. Malam itu pekat, tapi durasinya lebih lama ketimbang senja. Hidup itu indah, tapi sementara. Kematian adalah pemutus kenikmatan dan waktunya lebih lama.” (h.46)
Hingga suatu saat perbincangan mereka beralih pada masalah cinta. Laila berjumpa dengan seorang pemuda, penjual dan pengrajin tembikar, Nahar. Karakter Nahar dalam berdagang tergambar dengan teladan Rasulullah saw, terutama pada kejujurannya. Laila terkesan dan hati Nahar pun tergoda melihat seorang gadis cantik di depan kedai tembikarnya. Cinta bersambut, keduanya menyerap cinta dengan perasaan dan ketakutan masing-masing. Seperti, perbedaan status si kaya dan di miskin menjadi pemikiran Laila dan Nahar.
“Serasi? Apakah serasi mesti selamanya sama, Laila?”
Saat lamaran diajukan Nahar, Laila memiliki syarat. Syarat, sebuah kata yang selalu mengitari kehidupan Nahar akhir-akhir ini, dan membuatnya bertanya-tanya, ada apa dengan syarat. Kenapa selalu ada syarat dalam kehidupannya. Pemikiran yang kemudian menggiringnya pada sebuah keyakinan, “Nahar sampai ke kesimpulan paling mendasar dalam hidup, bahwa miskin dan kaya, sehat dan sakit, tinggi dan pendek, jelita dan buruk rupa adalah syarat dari Tuhan. Karena muaranya sama, mencapai tiang takwa yang menjadi jembatan menuju surga.” (h.122)
Syarat Laila, lamaran Nahar diterima jika dia bersedia datang ke rumahnya, setiap senja, dan mendengarkan Perempuan Renta menuturkan kisahnya. Sayangnya, menurut saya, pelaksanaan syarat tersebut tidak tergambar dengan baik, saya tidak terlalu menangkap bagaimana Nahar dan Laila berinteraksi dengan si Perempuan Renta. Bahkan, awalnya, saya kurang menangkap bahwa kisah Cinta Khadijah dan Rasulullah saw sebenarnya dituturkan melalui Perempuan Renta. Saya berpikir alur berjalan sendiri-sendiri, seperti pada serial Muhammad dari Tasaro Gk, tapi menyimpan makna yang saling mempengaruhi.
“Iman mesti bercokol di hati, maka lisan dan anggota badan akan seirama. Dia akan dibutakan oleh iman. Iman sanggup membutakan, Laila. Kebutaan yang pasti diingini semua orang.” (h. 103)
Selipan kisah romantis antara Bunda Khadijah dan Rasulullah saw sendiri tidak ada yang baru, lebih berfungsi sebagai ‘penekan’ makna cinta dalam kisah Laila dan Nahar. Sebuah cinta yang sarat dengan memberi, “… yang lebih dinantikan olehnya (Khadijah) adalah manakala dirinya menjadi tempat berkesah bagi suaminya. Meredakan lelah dan kesah seorang kekasih adalah hal paling istimewa ketimbang bermanja-manja. Karena dengan itu, kehadirannya benar-benar berharga.” (h. 141)
Novel ini dipenuhi dengan perenungan dengan gaya bahasa yang puitis. Tentang cinta, kehidupan, dan pengorbanan. Banyaknya perenungan inilah, yang membuat saya sendiri kurang merasakan kemulusan susunan alur dan plot dalam cerita, terkadang ada kesan meloncat-loncat dalam kisahnya. Satu lagi, hingga akhir cerita, misteri siapa sebenarnya sosok Perempuan Renta juga tidak terjawab.
“Takwa adalah nama lain dari termampunya manusia memenuhi dan melewati sarat dari Tuhan. Takwa adalah medali atau tiket bagi manusia yang sudah berhasil melaksanakan syarat dari Tuhan. Tiket takwa itulah yang akan menjadikan manusia sebagai makhluk yang posisinya dekat dengan Tuhan. … Yang terpenting, mereka bisa memenuhi syarat yang telah digariskan Tuhan dalam hidupnya.” (h. 123)