Judul: Think Dinar! | Penulis: Endy J. Kurniawan | Editor: Asma Nadia | Penerbit: AsmaNadia Publishing | Terbit: Ketujuh, Juni 2012 | Tebal: xxii + 298 hlm | Bintang: 4/5
“Nilai Dinar tetap sama semenjak masa Rasulullah Saw. Hingga kini, Dinar tetap mampu membeli seekor kambing.”
Percaya? Kita tahu bahwa harga kambing selalu naik setiap tahunnya, tapi selalu bisa terbayar dengan 1 Dinar. Selama ini yang banyak dikenal adalah mata uang kertas yang SELALU mengalami inflasi. Contoh sederhana, dulu uang 100 bisa membeli 3 permen, saat ini 100 sudah seperti tidak ada harganya, bahkan sering digantikan permen sebiji oleh perusahaan market.
Awalan buku ini diisi dengan pentingnya seorang muslim kaya, bukan sekadar kaya hati tetapi juga kaya harta. Pemikiran tentang zuhud yang menjadi teladan dari Rasulullah saw., bukan berarti membuat umat muslim malas untuk mencari harta karena zuhudnya masa Rasulullah, bukan dalam arti miskin, tetapi mereka memiliki kebebasan finansial. Umat muslim perlu kembali memformat pengertian dari kaya secara finansial.
“Negara kita terikat banyak hal dengan IMF, termasuk diantaranya tidak mengijinkan untuk mengkaitkan nilai tukar Rupiah dengan emas. … pelarangan ini jelas-jelas merugikan negara-negara berkembang yang memiliki sumber emas tersendiri dalam jumlah besar seperti Indonesia. (h.117)
Sistem kapitalis sudah lama menjerat umat muslim dan sering menyebabkan masalah, wacana dalam buku ini sedikit banyak akan mencerahkan kepala tentang alasan di baliknya. Inflasi adalah masalah keuangan yang dapat menyebabkan tabungan dalam bentuk mata uang kertas memiliki potensi mengecil, bahkan hilang. Maka, perlu adanya simpanan ke dalam asset riil yang nilainya terjaga atau naik, yakni asset yang nilainya tetap terhadap komoditas lainnya, seperti berinvestasi dalam bentuk emas/dinar. Nilai emas/dinar sendiri kemungkinan besar memiliki tren kenaikan, terutama jika dijadikan simpanan tahunan.
Sebenarnya, ada beberapa aset yang menguntungkan, seperti tanah atau rumah, tapi memilikinya membutuhkan modal besar, sedangkan untuk mendapatkan emas bisa dilakukan dengan nilai di bawah sejuta. Maka dari itu, adalah bahasan dalam buku ini yang mengangkat tema bahwa mempunyai emas tidak harus menunggu kaya. Dinar pun dapat dikumpulkan dulu dalam bentuk dirham/perak supaya meringankan pemilik asset.
“Hakikat uang dalam pemahaman Islam, adalah sama antara nilai intrinsic dengan nilai ekstrinsiknya. Ini yang disebut mata uang yang ‘adil’ yang dimiliki Dinar dan Dirham.” (h.96)
Contoh kasus adanya nilai intrinsik dan ekstrinsik yang adil adalah saat mata uang kertas disobek menjadi dua dan satu bagian dibuang, uang tersebut sudah tidak lagi bernilai, sedangkan untuk emas/dinar, ketika dibagi menjadi beberapa bagianpun tetap akan memiliki nilai jual. Hal inilah yang membuat emas/dinar lebih bernilai uang dibandingkan media yang saat ini banyak kita jumpai.
Dalam buku ini juga dipahamkan tentang alasan-alasan lain bagaimana nilai emas/dinar akan menjadi jaminan/asuransi yang bermanfaat dan tidak akan tergoyahkan saat inflasi terus menjajah pasar atau ekonomi suatu negara. Selain itu, buku ini juga banyak bertutur tentang ekonomi Islam yang lebih adil dalam memposisikan keuangan dan uang. Sebuah sistem yang menjadikan kesejahteraan sebagai milik bersama, bukan hanya milik mereka berduit.
“Dalam bukunya Ihya Ulumuddin, sang Imam mengungkapkan bahwa Allah menciptakan emas dan perak sebagai ‘hakim’ yang adil dalam memberikan nilai atau harga. … Artinya, Al-Ghazali percaya bahwa memang Allah menciptakan emas dan perak sebagai alat tukar yang adil dalam transaksi.” (h.245)
0 comments:
Post a Comment