Judul: Rebut Kembali Hatimu
Judul Asli: Reclaim Your Heart
Penulis: Yasmin Mogahed
Penerjemah: Nadya Andwiani
Penerbit: Zaman
Cetakan: Pertama, 2014
Tebal: 297 hlm
Harga: Rp. 55.000 (Diskon di Toko Buku Online)
Bintang: 5/5
“Begitulah jika kita hidup di dunya dengan hati kita. Menghancurkan kita. Itulah kenapa dunya ini menyakitkan. Karena definisi dunya, sebagai sesuatu yang sementara dan tidak sempurna, bertentangan dengan segala sesuatu yang diciptakan untuk kita dambakan.” (h.22)
Keterikatan adalah judul bab yang mengawali kumpulan tulisan Yasmin Mogahed dalam Reclaim Your Heart. Apa yang membuat manusia seringkali bersedih, menderita, kehilangan? Sebagian besar, bahkan hampir semua, disebabkan oleh keterikatan dengan dunia. Dunia yang sebenarnya hanyalah sarana seringkali dijadikan tujuan bagi manusia, sedangkan dunya tidaklah pernah sempurna dan seringkali berujung pada kekecewaan.
“Perjuangan untuk membebaskan hati kita dari semua keterikatan palsu, perjuangan untuk mengosongkan bejana hati kita, adalah perjuangan terbesar dalam kehidupan di dunia ini. Perjuangan itulah inti dari tauhid (monoteisme sejati). (h.48)
Pada beberapa tulisan, penulis menekankan bahwa keterikatan manusia dengan dunia tidak hanya berlaku dengan harta, jabatan atau segala yang tampak nyata, tetapi juga hubungan atau keterikatan hati dengan makhluk. “Tauhid berarti Keesaan tujuan, ketakutan, ibadah, cinta yang tertinggi untuk Allah. Itu berarti keesaan visi dan fokus. Itu berarti mengarahkan pandangan kita pada satu titik tunggal, yang memungkinkan segala hal lainnya meluruh ke tempat masing-masing.” (h.61)
Cinta dan Penderitaan menjadi tema tulisan selanjutnya yang disampaikan penulis. “Melihat yang Sejati mengubah cara kita mencintai. … Jika hatimu diperbudak oleh sesuatu yang terlarang baginya, salah satu akibat dari situasi menyedihkan ini adalah berpaling dari Allah.” (h.108) Disadari atau tidak, rasa cinta kepada pasangan, anak, orangtua, atau makhluk lainnya seringkali mengalahkan kecintaan kepada Sang Pencipta. Rasa cinta fana yang dapat memberikan penderitaan karena dibarengi dengan harapan untuk menjadikannya yang terbaik, padahal semua itu sesuatu yang mustahil.
Salah satu tulisan yang membekas bagi saya, berjudul Disakiti oleh Orang Lain. Sebuah pertanyaan muncul, “Bagaimana kita bisa hidup di dunia yang begitu cacat, tempat orang-orang mengecewakan kita, dan bahkan keluarga kita dapat menghancurkan diri kita?” karena dunia ini tidak sempurna, dunia yang sering menjadi kebanggaan ternyata menyembunyikan pisau yang dapat melukai tanpa kita perkirakan.
Potensi manusia untuk melakukan kejahatan keji terhadap satu sama lain merupakan kebenaran yang menyedihkan tentang hidup ini. Namun, kemampuan untuk mudah memaafkan harus didorong oleh kesadaran akan kekurangan dan kesalahan kita sendiri terhadap orang lain, karena kita juga makhluk yang berpotensi melakukan kekejian pada orang lain. Menghadirkan kerendahan hati bahwa kita juga sering melakukan kesalahan kepada Allah setiap hari dalam hidup kita.
“Kadang-kadang kita gagal mengenali hubungan langsung antara penderitaan di dalam hidup kita dan hubungan kita dengan Allah. … Penderitaan sulit menguji iman, ketabahan, dan kekuatan kita. Kemalangan melucuti topeng kita, mengungkap kebenaran di balik pernyataan keimanan belaka. Kesukaran memisahkan pernyataan keimanan yang tulus atau yang semu. (h.153)
Hubungan dengan Sang Pencipta adalah bab yang lebih banyak berbicara tentang ibadah kita yang merupakan sarana terkuat manusia untuk menjalin hubungan dengan Allah SWT. Shalat, Puasa, Doa dan lainnya yang kerap dilakukan sekadar pemenuhan kewajiban, sekadar gerak tubuh, bukan lagi kebutuhan atas perlindungan dari keburukan dunia. “Dengan meninggalkan shalat, manusia telah menanggalkan baju zirah dari Allah, dan memasuki medan pertempuran tanpa perlindungan.” (h.180) Sedangkan, jebakan setan yang bagian-bagiannya menjadi penguji keimanan, muncul hampir setiap detik dalam kehidupan manusia.
“Saat ini feminisme Barat menghapus Allah dari gambaran besar, tidak ada standar yang tersisa--- selain standar kaum laki-laki. Dengan demikian, ia telah menerima asumsi yang keliru. Ia telah menerima bahwa kaum lelaki adalah standar acuan, dan dengan demikian seorang perempuan tidak pernah bisa menjadi manusia yang utuh sampai ia menjadi sama seperti laki-laki.” (h.222)
Apa yang selalu digaungkan oleh pemikiran feminis, adalah kesetaraan gender, dan itu selalu mengarah pada persamaan yang menjadikan lelaki sebagai acuannya. Sedangkan, perempuan memiliki keunggulannya sendiri, perasaan, kelembutan dan keindahan di dalam kekhasan diri yang dianugerahi oleh Allah. Realitas inilah, yang disinggung pada bab Status Perempuan. Perbedaan yang seharusnya menjadi anugerah, tergeser oleh paham-paham yang mencoba mengaburkan keberkahan.
Sedangkan di sisi lain, perempuan seringkali menjadi bahan eksploitasi dan pajangan untuk memuaskan pandangan lelaki, realitas yang dibalut kebohongan sebagai suatu kebebasan dan kesuksesan perempuan.
“Aku adalah ‘budak’, tetapi kau mengajarkan bahwa aku bebas. Aku menjadi obyekmu, tetapi kau bersumpah bahwa itu adalah kesuksesan. Karena kau mengajariku bahwa tujuan hidupku adalah untuk dipamerkan, untuk menarik, dan menjadi cantik bagi kaum lelaki. Kau telah membuatku percaya bahwa tubuhku diciptakan untuk memasarkan mobilmu. Tapi, kau BOHONG. … Kau mengerti, sebagai perempuan muslim, aku telah dibebaskan dari perbudakan terselubung. Aku tidak tunduk kepada pada hamba Tuhan di bumi. Aku tunduk kepada Raja mereka.” (Surat Terbuka kepada Budaya yang Telah Membesarkanku – h.228)
Saat menuliskan ulasan buku ini rasanya ingin menuangkan semua kutipan, yang bisa berarti seluruh isi buku. Banyak kalimat yang dapat kita simpan dan kembali direkam ketika kondisi iman sedang menurun. Banyak hal dalam buku ini yang bisa dijadikan renungan untuk kembali merebut hati kita dari keterikatan dunia dan kecintaan makhluk yang melalaikan.
“… hanya ada satu buhul tali yang amat kuat dan tidak ada putus. Hanya ada satu tempat kita bisa bergantung. Hanya ada satu hubungan yang menentukan nilai-nilai kita dan hanya satu sumber bagi kita untuk mencapai kebahagiaan, kepuasan, dan keselamatan tertinggi. Satu tempat itu adalah Allah.” (h.21)
0 comments:
Post a Comment